Selasa, 12 Desember 2017

Catatan Kecil Tentang Game of Thrones



Generasi milenial penggila internet mana sih yang belum mengenal Game of Thrones. TV Show satu ini dinobatkan sebagai serial televisi yang paling banyak dibajak sejagad internet. Hingga rampungnya season terbaru di akhir agustus lalu, serial kolosal ini telah dibajak sebanyak miliaran kali di jutaan situs berbeda. Meme dan joke seputar ceritanya pun menjadi viral.
Saya sejujurnya takjub dan kecewa di saat bersamaan, karena fenomena GoT ini secara tidak langsung megancam kualitas produksi. Sebelum sampai ke sana, Saya ingin melakukan kilas balik ingatan ke lima tahun silam, saat pertama kali direkomendasikan seorang kawan untuk menonton serial ini.

Pertama kali disodorkan judul Game of Thrones ialah disekitar pertengahan tahun 2012 yang sendu. Saya sedang texting dengan seorang teman penyuka movie epic yang banyak adegan menunggang kudanya. Saya merekomendasikan judul-judul film kolosal China seperti Red Cliff dan Warlords. Lantas ia bertanya, saat ini saya suka pada serial tv apa. Bingung, saya bilang saya menonton serial perang dunia sekelas Pacific dan Band of Brothers. Teman saya terkekeh, ia bilang kalau gaya perang modern itu ‘banci’. Kesatria berbaju zirah yang memacu kuda sembari bersalto menghindari hujan panah itu lebih keren. Ia pun mantap bahwa saya harus menonton Game of Thrones.

Berbuhung saya suka menonton film bajakan ketimbang membelinya (kejujuran adalah keutamaan), saya langsung menyedot file film GoT dari warnet terdekat. Saat itu GoT sudah merampungkan season pertamanya dan baru saja memulai season kedua. Sambil membuka-buka imdb (Internet Movie Database), saya pasang kuda-kuda untuk segera menyaksikan episode pertama GoT. Lima belas menit berlalu dan saya merasa film ini sangat membosankan. Adegan pembuka episode pertama film ini penuh pertanyaan, terlebih cerita slice of life keluarga Stark seolah berjalan dengan lamban, hal ini cukup menganggu (buat saya). Namun, poperti dan cinematography dari film ini cukup memukau seolah sedang menonton film bioskop. Saya memutuskan berhenti menonton dan bertekad melanjutkannya nanti.

Sekitar satu minggu sejak kepindahannya dari warnet ke computer saya, GoT belum saya sentuh lagi. Di saat bersamaan ternyata muncul kawan lain yang butuh rekomendasi film. Saya spontan menyodorkannya judul Game of Thrones, padahal saya sendiri belum selesai nonton. Mungken berkat itu pula saya jadi termotivasi dan berhasil menyelesaikan season pertama dengan sistem kebut.

Di luar dugaan, Game of Thrones sangat berbeda dari “sinetron” medieval lain, sebut saja The Tudors. GoT berani keluar dari alur cerita mainstream, hingga membuatnya tidak dapat diprediksi. Heroisme dan loyalitas yang semula selalu berjaya dalam template cerita kebanyakan tidak berlaku dalam GoT. Di sini, kecurangan harus selalu terjadi dan kenaifan tidak dapat diterima. Sikap membangkang dan ulah selalu mendapat sanksi, seperti halnya cinta terlarang selalu berakhir kematian. GoT tidak segan menghukum para karakternya seiring berkembangnya cerita, bahkan Hero dalam kisah ini pun tidak lewat dari maut. Semua ini terdengar seperti kehidupan nyata ya.
Jon Snow, Hero Anti-maut yang Kebal Cuaca Ekstrim
Seiring season yang bertambah, GoT ternyata berjalan ke arah yang lebih mainstream. Orang bilang ini disebabkan oleh ulah produser film yang berjalan melampaui alur cerita novel buatan George RR Martin. Namun, saya kurang setuju. Fenomena serial tv GoT yang menyedot perhatian mata dunia bertanggung jawab dalam masalah ini. Saat sebuah produk budaya seperti film menjadi harta berharga sebuah masyarakat, di dalamnya tentu berlaku favoritisme dan tanggung jawab sosial kepada masyarakat itu sendiri.

Dalam kaidah pembuatan cerita drama-action selayaknya GoT tentu harus ada karakter yang ditonjolkan, sebut saja Hero. Hero sepatutnya menjadi panutan karena ia mewakili audiens. GoT yang semula seolah tidak punya Hero (karena Heronya selalu ketemu maut) lantas memunculkan Heronya di fase resolusi yang kita tonton di season terbaru. Berkat kapasitasnya mewakili penonton ini lah, Hero harus selalu kebal maut. Ia harus diselamatkan bahkan dalam situasi yang menentang logika. Hero juga tidak boleh sembrono bertingkah laku atau disiksa oleh situasi karena ia adalah favorit utama penonton. Terlebih lagi, Hero punya tanggung jawab sosial karena tingkah lakunya diawasi penonton. Hero anti maut yang kebal cuaca ekstrim ini pun menghilangkan greget dari alur kisah GoT. (Ind)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar