Watashi ga Motete Dōsunda |
Setelah sekian lama tidak menonton anime. Beberapa hari lalu
saya tiba-tiba tertarik menonton serial anime Watashi ga Motete Dōsunda atau Kiss
Him, Not Me! Anime ini bercerita di sekitar kehidupan Kae Serinuma, seorang
remaja perempuan gemuk penggila karakter anime. Saat anime kesuakaannya tiba di
penghujung seri, pria pujaannya di dalam kisah anime dijemput ajal. Kae sangat
terpukul dan menolak keluar kamar selama lebih dari seminggu. Saat mengisolasi
diri inilah berat badan Kae turun drastis. Ia malah menjelma menjadi perempuan
cantik dan menarik hati empat teman lelaki tampan di sekolahnya. Saat para
lelaki itu mengajak Kae berkencan berlima, mereka baru mengetahui kenyataan bahwa
Kae tidak tertarik berpacaran, karena dia seorang fujoshi! Dimulailah jalinan cerita mengocok perut di mana empat
lelaki kasmaran berusaha memenangkan hati atau lebih tepat “menyembuhkan penyakit”
perempuan idaman mereka.
Fujoshi..? Apa itu
fujoshi? Bagi mereka yang jauh dari
akar kultur anime/manga atau segala sesuatu yang beraroma Jejepangan pasti
asing dengan istilah ini. Fujoshi secara harfiah diartikan sebagai “perempuan
busuk”. Kata ini sejatinya berasal dari ungkapan “perempuan terhormat”, namun
diplesetkan dengan mengganti salah satu katakter kanji.
“Perempuan Busuk? Pasti perilakunya sangat jelek,” pikir
orang yang awam. Bukan berperilaku jelek, melainkan memiliki pikiran yang
“liar”. Fujoshi cenderung membayangkan hubungan sesama jenis antar lelaki. Itu
artinya mereka adalah pecinta hubungan homoseksual. Meski ada saja fujoshi yang
menyukai real-life homosexuality,
namun julukan ini umumnya hanya mengacu pada perempuan yang menyukai hubungan
antar lelaki dalam bentuk animasi gambar 2D (anime/manga) atau biasa disebut genre
Yaoi atau Boy’s Love (BL). Sama halnya dengan Kae Serinuma yang memuja
karakter Shion bukan untuk dibayangkan menjadi pacar, namun lebih memilih
menjodohkannya dengan karakter pria lain.
Fujogasm (Watashi ga Motete Dōsunda) |
Sejak dua dekade terakhir, fujoshi menjadi perdebatan seru di kalangan akademisi di Jepang. Bahkan
mendorong sebuah simposium akademik di Universitas Seika di Kyoto yang membahas
akar fenomena fujoshi. Secara garis
besar, fenomena ini disejajarkan dengan fenomena otaku (penggemar berat anime dan manga). Jikalau posisi otaku mayoritas ditempati laki-laki, otaku perempuan seperti Kae Serinuma terkadang
disamakan dengan fujoshi. Padahal
tidak semua otaku perempuan menyukai
BL juga sebaliknya.
Jajak pendapat pun masih berseliweran hingga kini. Bahkan
kalau boleh dibilang semakin memanas ketika dihubungkan dengan gagasan tentang
bagaimana perempuan memimpin jalannya sebuah fiksi di Jepang. Pasalnya,
industri anime dan manga Jepang kini semakin banyak merilis materi-materi bertema
BL (Junjou Romantica, Love Stage, dll). Ada pula gender bender, di mana terdapat cerita
kebingungan gender perempuan menjadi laki-laki atau sebaliknya (Ouran Koukou Host Club, Yamada-kun and the Seven Witches, dll).
Bahkan ada kisah tentang satu perempuan yang dicintai lelaki segambreng yang
biasa dijuluki reverse harem (Utapri, Diabolic Lovers, Watashi ga
Motete Dōsunda, dll). Semua genre ini awalnya diciptakan oleh perempuan
untuk perempuan. Sekarang justru menjadi genre-genre yang cukup mainstream dalam
industri hiburan Jepang, termasuk industri idol.
Tumpukan manga BL, Sumber: travel.gaijinpot.com |
Belakangan saya juga baru tahu ada genre yang dijuluki fujoshi comedy. Ouran Koukou Host Club dan Watashi
ga Motete Dōsunda merupakan dua contoh cerita yang menang banyak tropi untuk
kategori favorit fujoshi. Keduanya memborong
unsur reverse harem, romantika
heteroseksual, gender bender, dan tentu saja BL, untuk dimasak bagi kepuasan
penonton perempuan. Persamaan lainnya, keduanya memberikan ruang kepada strong woman character yang berani
menantang laki-laki.
Sebagai seorang mantan fujoshi, saya pribadi sudah jarang
menonton anime. Mungkin karena sudah merasa terlalu tua, terkadang cerita anime
dan manga yang tipikal dikarang untuk remaja ke atas sudah tidak cocok lagi.
Tapi, ketika sepintas melihat Watashi ga
Motete Dōsunda, saya yakin bahwa saya harus menonton. Ternyata memang benar
anime ini justru membawa saya kembali merenungkan fenomena “mengapa perempuan
menyukai fiksi yang menuturkan hubungan intim dan/atau romantis antar laki-laki?”
(baca: bromance).
Mari kita bawa diskusi ini ke ranah yang lebih mainstream.
Fenomena boy-group Korea beberapa
tahun belakangan tak ayal menyedot perhatian gadis-gadis muda. Mereka bisa
berteriak histeris memuji oppa-nya di atas panggung yang tengah melakukan fan-service dengan bercengkrama sesama anggota
band. Meski tidak semua, di belakang ada saja di antara fans yang dengan senang
hati menjodoh-jodohkan oppanya satu sama lain ke dalam media fanfiction dan
diunggah di internet. Saya yakin, mereka yang gemar menjodohkan ini sebagian bukanlah
pecinta BL Jepang. Mereka juga bukan sekawanan perempuan otaku. Dan yang paling
utama mereka adalah perempuan yang lurus orientasi seksualnya (baca: suka
laki-laki).
Fenomena grub lelaki tampan Korea yang menggoyang dunia
perempuan ini didukung pula oleh industri dramanya. Saya pribadi tidak terlalu
menyukai drama Korea. Kendati demikian, kabar bahwa belakangan drakor mulai
mengeksplorasi wilayah bromance tidak luput menyambar telinga saya. Sebut saja judul
Goblin dan Strong Woman Do Bong-soon, keduanya tidak segan menampilkan kontak
fisik antara dua laki-laki. Fans drakor menyebutkan bahwa di Korea lelaki
bersikap intim dengan lelaki lain (tanpa melibatkan perasaan cinta) merupakan
sesuatu yang wajar. Namun, yang patut digaris bawahi bukan sekedar kontak
fisiknya tetapi juga ekspresi seksual yang mungkin dibayangkan oleh para penonton
perempuan. Kecenderungan bromance ala Korea ini juga didukung kebangkitan
webcomic Korea yang konsisten mengeksploitasi tema BL, contohnya saja Lehzin
Comics.
Strong Woman Do Bong-soon, Sumber: animoapps.com |
Saya menyadari topik ini bukan sesuatu yang wajar di luar
Jepang dan Korea, khususnya seperti Indonesia. Namun demikian, tidak dipungkiri
hal ini sudah menjadi bagian globalisasi industri hiburan. Meluasnya pemikiran
feminis tentang seharusnya perempuan muncul memimpin dan menghancurkan kebiasaan
seksual lawas pun kemungkinan bermain di baliknya. Korea pun nampaknya banyak
mengadopsi pemikiran ini lewat performa-performa girl-group yang seksi namun terkadang “liar”.
Saat kuliah dahulu kala, saya pernah membuat paper tentang
fenomena bromance dalam dunia hiburan ini. Saya tiba pada simpulan bahwa
munculnya kecenderungan ini berakar pada menguatnya kekuatan ekonomi perempuan.
Artinya, perempuan boleh mendapatkan materi hiburan demi kepuasan fantasy
seksual versi mereka. Di dalam dunia fujoshi misalnya, mereka merasa dapat
membeli tubuh-tubuh lelaki melalui anime/manga BL
tanpa mempermalukan diri mereka sendiri dengan tanpa melihat gambar perempuan lain. Analoginya sama seperti ketika laki-laki
membeli majalah Playboy.
Otome Road di Jepang, "Tanah Suci"-nya para Fujoshi, Sumber: muza-chan.net |
Meski sudah tiba pada kesimpulan ini, saya masih tetap belum
mendekati titik terang mengapa perempuan memuja BL. Apakah ini bisa terjadi
pada setiap perempuan yang tersentuh budaya populer seperti film, musik, serta
seni industrial lainnya? Ataukah hanya bentuk superioritas beberapa perempuan? Meski
saya pernah menyandang gelar fujoshi selama beberapa tahun, tetaplah sulit
membayangkan jawaban objektifnya. (Ind)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar