Sabtu, 06 Januari 2018

Curhatan Batin dan Emosi Seorang Fujoshi (Bukan Sebuah Cerpen)

Watashi ga Motete Dōsunda
Setelah sekian lama tidak menonton anime. Beberapa hari lalu saya tiba-tiba tertarik menonton serial anime Watashi ga Motete Dōsunda atau Kiss Him, Not Me! Anime ini bercerita di sekitar kehidupan Kae Serinuma, seorang remaja perempuan gemuk penggila karakter anime. Saat anime kesuakaannya tiba di penghujung seri, pria pujaannya di dalam kisah anime dijemput ajal. Kae sangat terpukul dan menolak keluar kamar selama lebih dari seminggu. Saat mengisolasi diri inilah berat badan Kae turun drastis. Ia malah menjelma menjadi perempuan cantik dan menarik hati empat teman lelaki tampan di sekolahnya. Saat para lelaki itu mengajak Kae berkencan berlima, mereka baru mengetahui kenyataan bahwa Kae tidak tertarik berpacaran, karena dia seorang fujoshi! Dimulailah jalinan cerita mengocok perut di mana empat lelaki kasmaran berusaha memenangkan hati atau lebih tepat “menyembuhkan penyakit” perempuan idaman mereka.

Fujoshi..? Apa itu fujoshi? Bagi mereka yang jauh dari akar kultur anime/manga atau segala sesuatu yang beraroma Jejepangan pasti asing dengan istilah ini. Fujoshi secara harfiah diartikan sebagai “perempuan busuk”. Kata ini sejatinya berasal dari ungkapan “perempuan terhormat”, namun diplesetkan dengan mengganti salah satu katakter kanji.

“Perempuan Busuk? Pasti perilakunya sangat jelek,” pikir orang yang awam. Bukan berperilaku jelek, melainkan memiliki pikiran yang “liar”. Fujoshi cenderung membayangkan hubungan sesama jenis antar lelaki. Itu artinya mereka adalah pecinta hubungan homoseksual. Meski ada saja fujoshi yang menyukai real-life homosexuality, namun julukan ini umumnya hanya mengacu pada perempuan yang menyukai hubungan antar lelaki dalam bentuk animasi gambar 2D (anime/manga) atau biasa disebut genre Yaoi atau Boy’s Love (BL). Sama halnya dengan Kae Serinuma yang memuja karakter Shion bukan untuk dibayangkan menjadi pacar, namun lebih memilih menjodohkannya dengan karakter pria lain.
Fujogasm (Watashi ga Motete Dōsunda)
Sejak dua dekade terakhir, fujoshi menjadi perdebatan seru di kalangan akademisi di Jepang. Bahkan mendorong sebuah simposium akademik di Universitas Seika di Kyoto yang membahas akar fenomena fujoshi. Secara garis besar, fenomena ini disejajarkan dengan fenomena otaku (penggemar berat anime dan manga). Jikalau posisi otaku mayoritas ditempati laki-laki, otaku perempuan seperti Kae Serinuma terkadang disamakan dengan fujoshi. Padahal tidak semua otaku perempuan menyukai BL juga sebaliknya.

Jajak pendapat pun masih berseliweran hingga kini. Bahkan kalau boleh dibilang semakin memanas ketika dihubungkan dengan gagasan tentang bagaimana perempuan memimpin jalannya sebuah fiksi di Jepang. Pasalnya, industri anime dan manga Jepang kini semakin banyak merilis materi-materi bertema BL (Junjou Romantica, Love Stage, dll). Ada pula gender bender, di mana terdapat cerita kebingungan gender perempuan menjadi laki-laki atau sebaliknya (Ouran Koukou Host Club, Yamada-kun and the Seven Witches, dll). Bahkan ada kisah tentang satu perempuan yang dicintai lelaki segambreng yang biasa dijuluki reverse harem (Utapri, Diabolic Lovers, Watashi ga Motete Dōsunda, dll). Semua genre ini awalnya diciptakan oleh perempuan untuk perempuan. Sekarang justru menjadi genre-genre yang cukup mainstream dalam industri hiburan Jepang, termasuk industri idol.
Tumpukan manga BL, Sumber: travel.gaijinpot.com
Belakangan saya juga baru tahu ada genre yang dijuluki fujoshi comedy. Ouran Koukou Host Club dan Watashi ga Motete Dōsunda merupakan dua contoh cerita yang menang banyak tropi untuk kategori favorit fujoshi. Keduanya memborong unsur reverse harem, romantika heteroseksual, gender bender, dan tentu saja BL, untuk dimasak bagi kepuasan penonton perempuan. Persamaan lainnya, keduanya memberikan ruang kepada strong woman character yang berani menantang laki-laki.

Sebagai seorang mantan fujoshi, saya pribadi sudah jarang menonton anime. Mungkin karena sudah merasa terlalu tua, terkadang cerita anime dan manga yang tipikal dikarang untuk remaja ke atas sudah tidak cocok lagi. Tapi, ketika sepintas melihat Watashi ga Motete Dōsunda, saya yakin bahwa saya harus menonton. Ternyata memang benar anime ini justru membawa saya kembali merenungkan fenomena “mengapa perempuan menyukai fiksi yang menuturkan hubungan intim dan/atau romantis antar laki-laki?” (baca: bromance).

Mari kita bawa diskusi ini ke ranah yang lebih mainstream. Fenomena boy-group Korea beberapa tahun belakangan tak ayal menyedot perhatian gadis-gadis muda. Mereka bisa berteriak histeris memuji oppa-nya di atas panggung yang tengah melakukan fan-service dengan bercengkrama sesama anggota band. Meski tidak semua, di belakang ada saja di antara fans yang dengan senang hati menjodoh-jodohkan oppanya satu sama lain ke dalam media fanfiction dan diunggah di internet. Saya yakin, mereka yang gemar menjodohkan ini sebagian bukanlah pecinta BL Jepang. Mereka juga bukan sekawanan perempuan otaku. Dan yang paling utama mereka adalah perempuan yang lurus orientasi seksualnya (baca: suka laki-laki).

Fenomena grub lelaki tampan Korea yang menggoyang dunia perempuan ini didukung pula oleh industri dramanya. Saya pribadi tidak terlalu menyukai drama Korea. Kendati demikian, kabar bahwa belakangan drakor mulai mengeksplorasi wilayah bromance tidak luput menyambar telinga saya. Sebut saja judul Goblin dan Strong Woman Do Bong-soon, keduanya tidak segan menampilkan kontak fisik antara dua laki-laki. Fans drakor menyebutkan bahwa di Korea lelaki bersikap intim dengan lelaki lain (tanpa melibatkan perasaan cinta) merupakan sesuatu yang wajar. Namun, yang patut digaris bawahi bukan sekedar kontak fisiknya tetapi juga ekspresi seksual yang mungkin dibayangkan oleh para penonton perempuan. Kecenderungan bromance ala Korea ini juga didukung kebangkitan webcomic Korea yang konsisten mengeksploitasi tema BL, contohnya saja Lehzin Comics.
Strong Woman Do Bong-soon, Sumber: animoapps.com
Saya menyadari topik ini bukan sesuatu yang wajar di luar Jepang dan Korea, khususnya seperti Indonesia. Namun demikian, tidak dipungkiri hal ini sudah menjadi bagian globalisasi industri hiburan. Meluasnya pemikiran feminis tentang seharusnya perempuan muncul memimpin dan menghancurkan kebiasaan seksual lawas pun kemungkinan bermain di baliknya. Korea pun nampaknya banyak mengadopsi pemikiran ini lewat performa-performa girl-group yang seksi namun terkadang “liar”.

Saat kuliah dahulu kala, saya pernah membuat paper tentang fenomena bromance dalam dunia hiburan ini. Saya tiba pada simpulan bahwa munculnya kecenderungan ini berakar pada menguatnya kekuatan ekonomi perempuan. Artinya, perempuan boleh mendapatkan materi hiburan demi kepuasan fantasy seksual versi mereka. Di dalam dunia fujoshi misalnya, mereka merasa dapat membeli tubuh-tubuh lelaki melalui anime/manga BL tanpa mempermalukan diri mereka sendiri dengan tanpa melihat gambar perempuan lain. Analoginya sama seperti ketika laki-laki membeli majalah Playboy.
Otome Road di Jepang, "Tanah Suci"-nya para Fujoshi, Sumber: muza-chan.net
Meski sudah tiba pada kesimpulan ini, saya masih tetap belum mendekati titik terang mengapa perempuan memuja BL. Apakah ini bisa terjadi pada setiap perempuan yang tersentuh budaya populer seperti film, musik, serta seni industrial lainnya? Ataukah hanya bentuk superioritas beberapa perempuan? Meski saya pernah menyandang gelar fujoshi selama beberapa tahun, tetaplah sulit membayangkan jawaban objektifnya. (Ind)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar