Rabu, 07 November 2018

ARGO, Film yang Menginspirasi Saya untuk Buru-Buru Sidang Tesis

poster film asli argo
Poster film asli tapi palsu Argo (1980)
Saya sedikit kaget saat menyadari bahwa saya lebih sering menulis tentang film-film random ketimbang film favorit saya seperti Argo. Padahal, Argo adalah salah satu film penting dalam petualangan akademik saya. Berkat menonton film besutan Ben Affleck ini, saya jadi terinspirasi untuk buru-buru menggarap tesis saat kuliah dahulu. Tak hanya itu, saya juga kebelet untuk segera melewati sidang tesis, kemudian menikmati kepuasan yang paripurna saat hasilnya diprint menjadi karya ilmiah dan dijejalkan di antara rak buku di perpustakaan kampus. Tak disangka-sangka, selain menjadi ganjel rak bagian referensi di kampus, tesis ini sekarang juga sudah dibukukan.

Meski perannya yang begitu penting, tak sekalipun Argo saya beri kredit malampaui gelarnya sebagai film favorit. Bukan lantaran tidak mau menobatkan Argo menjadi ‘film paling inspiratif’ dalam hidup saya, tetapi karena dahulu saya seringkali lupa bahwa hal-hal yang kita anggap kecil seringkali yang berperan paling besar. Kini, saya yakin film yang diangkat dari memoir seorang pensiunan agen CIA berjudul The Master of Disguise ini berkontribusi membantu saya berpikir jenih di saat-saat akhir kuliah.

THE MASTER OF DISGUISE

Argo dibuka oleh demonstrasi besar rakyat dan militan Iran di depan kedutaan besar Amerika di Tehran pada tahun 1979. Menyambung aksi kudeta terhadap Kerajaan Iran, mereka menuntut agar Amerika Serikat mencabut suaka terhadap Reza Pahlevi. Dengan begitu, sang mantan Raja yang kabarnya tengah menjalani pengobatan kanker di Amerika itu bisa dipulangkan untuk diadili. Malangnya, demonstrasi di hari itu justru menjadi awal petaka bagi para diplomat Amerika.

Rakyat Iran mengepung Kedutaan Amerika di Tehran
Massa yang marah lantas menjebol pagar dan menyapu halaman kantor kedutaan Amerika. Tak butuh waktu lama sampai penjagaan di dalam kedutaan akhirnya tumbang. Militan Iran pun menyandera 52 orang diplomat Amerika yang bekerja di sana. Suasana kedutaan besar Amerika di Iran tak ayal menjadi sorotan media global dan menjadi aksi penyanderaan paling terkenal di dunia hingga kini. Akibat proses diplomasi yang alot, krisis penyanderaan di Iran ini berlangsung selama lebih dari satu tahun, dari 4 November 1979 sampai 20 Januari 1981.

Tak dinyana, beberapa saat sebelum rakyat Iran menyerbu kedutaan Amerika, enam orang pegawai kedutaan berhasil kabur dari pintu belakang. Mereka diberi perlindungan oleh Duta Besar Canada untuk Iran, Ken Taylor (Victor Garber), dan diberi julukan “houseguest” oleh pemerintah Canada. Namun, justru nyawa mereka yang paling terancam jika dibandingkan para diplomat yang disandera di kedutaan. Pasalnya, jika hal ini sampai diketahui militan Iran, keenamnya bisa dituduh sebagai mata-mata Amerika dan dibunuh di tempat. Pemerintah Amerika pun akan sangat malu dibuatnya.

Para "guesthouse" yang terjebak di Kota Tehran
Kabar kaburnya enam diplomat Amerika di Iran dengan sangat cepat tersiar di kalangan intelejen Amerika. Dibantu pemerintah Canada, Departemen Negara di Washington dengan segera menyusun rencana penyelamatan dengan memberangkatkan Tony Mendez (Ben Affleck), seorang agen pembebas sandera terbaik di CIA. Dengan mengambil nama palsu sebagai Kevin Harkins, Mendez menyusun siasat dibantu seorang make-up designer pemenang penghargaan Oscar bernama John Chambers (John Goodman) dan Lester Siegel (Alan Arkin), seorang produser film kawakan di Hollywood. Bersama-sama mereka membuat rumah produksi film palsu dan berencana membuat film fiksi ilmiah gadungan berbudget 20 juta dolar berjudul Argo. Semata-mata bertujuan untuk menyamarkan identitas enam diplomat sebagai rombongan kru film dari Canada.

Berhubung budaya perfilman Amerika Utara sudah terlalu dalam menancap di Iran bahkan sebelum masa revolusi, penyamaran produksi film Argo dibuat dengan amat sempurna. Tak hanya menyiapkan screenplay film, Mendez juga secara legal membuka kantor produksi bernama Studio Six. Ia juga menyewa Jack Kirby sebagai pembuat storyboard dan merilis sebuah konferensi pers untuk menjual berita bohong. Saking meyakinkannya rencana produksi film jadi-jadian Argo ini, kabarnya banyak penulis naskah yang terkecoh. Konon, ada 26 naskah film yang dikirimkan ke alamat kantor produser palsu tersebut, salah satunya dari Steven Spielberg.

Pers menjual berita hoax pembuatan film Argo

INSPIRASI TESIS

Jauh sebelum cintaku terhadap Argo bersemi, sudah lama saya ingin membuat penelitian ilmiah tentang sejarah film di Indonesia. Akan tetapi, ide itu tak kunjung muncul. Apa yang harus saya tulis dari sejarah film Indonesia ini? Buku-buku perfilman yang pernah saya baca sudah lebih dahulu merinci dengan detail kecenderungan perfilman kita, lalu apa yang tersisa untuk saya tulis?

Di tengah kebimbangan ini, saya pun memutuskan rehat sembari 'bertapa' menonton film. Kebetulan saya sudah lama mendengar pujian-pujian terhadap Argo, setelah film ini keluar sebagai pemenang film terbaik penghargaan Oscar pada tahun 2013. Meski demikian, ada saja alasan klasik saya untuk menghindari film yang bertutur tentang aksi agen rahasia ini: takut relalu pro-Amerika-lah, takut terlalu banyak adegan menembak sembari kebut-kebutan-lah, dll, dst.

Lagi-lagi tuduhan-tuduhan mambu saya tersebut tidak terbukti. Setelah menonton Argo, saya baru sadar kenapa film ini begitu baik. Meskipun berlatar Iran masa Revolusi Islam, Argo tidak mendeskritkan Republik Islam Iran sebagai musuh bebuyutan Amerika. Sebaliknya, Argo berhasil meyakinkan penonton bahwa kekacauan diplomatik yang terjadi di Iran sebenarnya adalah ulah Amerika sendiri. Ditambah lagi, ketegangan dalam Argo tidak dibangun dari adegan aksi dan kejar-kejaran, melainkan lebih kepada situasi intens saat penyamaran para diplomat hampir saja terkuak.

Identitas palsu yang hampir terbongkar
Sebenarnya, Argo tidak serta merta menanamkan ide judul penulisan tesis begitu saya mulai menontonnya. Ketertarikan saya terhadap Revolusi Islam dan campur tangan pemerintah dalam perfilman memang ramuan yang saya cari-cari dari film ini, namun sayangnya Argo tidak bertutur tentang hubungan keduanya. Sepanjang alur cerita Argo, kita hanya akan banyak melihat ketegangan di tingkat pemerintahan Amerika Serikat saat menghadapi konflik dan penyanderaan di dalam negara Iran. Satu-satunya dialog dalam Argo yang menyambung antara revolusi agama dengan perfilman ialah saat Tony Mendez menyamar menjadi seorang produser film untuk meminta izin syuting di beberapa landmark terkenal di Kota Tehran.

"Anda datang di saat yang sulit. Sebelum revolusi, 40% bioskop di Tehran menayangkan film pornografi. [...] Fungsi kantor ini adalah pemurnian, sekaligus mempromosikan kesenian. Saya akan mempelajari naskah (film Anda) ini atas nama Kementerian."

sejarah film seks di Indonesia
Sejarah film seks di Indonesia
Sepenggal dialog yang diucapkan oleh seorang pejabat Departemen Kebudayaan dan Bimbingan Islam kepada Mendez tersebut membuat saya sadar bahwa ternyata Iran pun pernah diserbu film-film seks dari negara-negara Barat. Kecenderungan film seks ternyata adalah penyakit akut dunia perfilman di negara manapun yang pernah diserbu kapitalisme Amerika sampai tahun 1980an. Lalu, saya pun jadi mengawang-awang, mungkinkah film-film Warkop DKI yang mengeksploitasi wilayah paha dan dada para gadis Warkop bukan sebuah kesengajaan para produser film semata.

Layaknya Iran sebelum Revolusi Islam, Indonesia pun pernah menjadi pemuja produk film seks Hollywood. Apabila kita menonton film-film Indonesia periode tahun 1970an sampai awal 1990an, tak sulit menemukan adegan ranjang-ranjangan. Di samping menjadi produk yang propuler, ada kalanya film menjadi media pemerintah melambungkan isu tertentu, salah satunya isu seks dan perkawinan. Sebaliknya, peralihan iklim politik berpotensi besar mengubah arah perfilman tersebut, seperti halnya yang sedikit disinggung dalam Argo. Berkat menonton Argo, saya pun mantap untuk menulis tesis tentang sejarah politik film seks di Indonesia. (Ind)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar