Poster film asli tapi palsu Argo (1980) |
Saya
sedikit kaget saat menyadari bahwa saya lebih sering menulis tentang film-film
random ketimbang film favorit saya seperti Argo.
Padahal, Argo adalah salah satu film penting
dalam petualangan akademik saya. Berkat menonton film besutan Ben Affleck ini,
saya jadi terinspirasi untuk buru-buru menggarap tesis saat kuliah dahulu. Tak
hanya itu, saya juga kebelet untuk segera melewati sidang tesis, kemudian
menikmati kepuasan yang paripurna saat hasilnya diprint menjadi karya ilmiah
dan dijejalkan di antara rak buku di perpustakaan kampus. Tak disangka-sangka,
selain menjadi ganjel rak bagian referensi di kampus, tesis ini sekarang juga
sudah dibukukan.
Meski
perannya yang begitu penting, tak sekalipun Argo
saya beri kredit malampaui gelarnya sebagai film favorit. Bukan lantaran tidak
mau menobatkan Argo menjadi ‘film
paling inspiratif’ dalam hidup saya, tetapi karena dahulu saya seringkali lupa
bahwa hal-hal yang kita anggap kecil seringkali yang berperan paling besar.
Kini, saya yakin film yang diangkat dari memoir seorang pensiunan agen CIA
berjudul The Master of Disguise ini berkontribusi
membantu saya berpikir jenih di saat-saat akhir kuliah.
THE MASTER OF DISGUISE
Argo dibuka oleh demonstrasi besar
rakyat dan militan Iran di depan kedutaan besar Amerika di Tehran pada tahun 1979. Menyambung aksi kudeta terhadap Kerajaan Iran, mereka menuntut
agar Amerika Serikat mencabut suaka terhadap Reza Pahlevi. Dengan begitu, sang
mantan Raja yang kabarnya tengah menjalani pengobatan kanker di Amerika itu bisa
dipulangkan untuk diadili. Malangnya, demonstrasi di hari itu justru menjadi
awal petaka bagi para diplomat Amerika.
Rakyat Iran mengepung Kedutaan Amerika di Tehran |
Massa
yang marah lantas menjebol pagar dan menyapu halaman kantor kedutaan Amerika. Tak
butuh waktu lama sampai penjagaan di dalam kedutaan akhirnya tumbang. Militan
Iran pun menyandera 52 orang diplomat Amerika yang bekerja di sana. Suasana kedutaan
besar Amerika di Iran tak ayal menjadi sorotan media global dan menjadi aksi
penyanderaan paling terkenal di dunia hingga kini. Akibat proses diplomasi yang alot, krisis penyanderaan di Iran
ini berlangsung selama lebih dari satu tahun, dari 4 November 1979 sampai 20
Januari 1981.
Tak
dinyana, beberapa saat sebelum rakyat Iran menyerbu kedutaan Amerika, enam orang pegawai kedutaan berhasil kabur
dari pintu belakang. Mereka diberi perlindungan oleh Duta Besar Canada untuk Iran, Ken Taylor (Victor Garber), dan diberi julukan “houseguest” oleh pemerintah Canada. Namun, justru
nyawa mereka yang paling terancam jika dibandingkan para diplomat yang disandera di
kedutaan. Pasalnya, jika hal ini sampai diketahui militan Iran, keenamnya bisa
dituduh sebagai mata-mata Amerika dan dibunuh di tempat. Pemerintah Amerika pun akan
sangat malu dibuatnya.
Para "guesthouse" yang terjebak di Kota Tehran |
Kabar
kaburnya enam diplomat Amerika di Iran dengan sangat cepat tersiar di kalangan
intelejen Amerika. Dibantu pemerintah Canada, Departemen Negara di Washington dengan segera menyusun rencana penyelamatan dengan memberangkatkan Tony Mendez (Ben Affleck), seorang agen
pembebas sandera terbaik di CIA. Dengan
mengambil nama palsu sebagai Kevin Harkins, Mendez menyusun siasat dibantu seorang make-up designer pemenang
penghargaan Oscar bernama John Chambers (John Goodman) dan Lester Siegel (Alan Arkin), seorang produser
film kawakan di Hollywood. Bersama-sama
mereka membuat rumah produksi film palsu dan berencana membuat film fiksi ilmiah gadungan berbudget 20 juta dolar berjudul Argo. Semata-mata bertujuan untuk menyamarkan identitas enam diplomat sebagai rombongan kru film dari Canada.
Berhubung budaya perfilman Amerika Utara sudah terlalu dalam menancap di Iran bahkan sebelum masa
revolusi, penyamaran produksi film Argo
dibuat dengan amat sempurna. Tak hanya menyiapkan screenplay film, Mendez juga secara legal membuka kantor produksi bernama Studio
Six. Ia juga menyewa Jack Kirby sebagai pembuat storyboard dan merilis sebuah konferensi pers untuk menjual berita bohong. Saking meyakinkannya rencana produksi film jadi-jadian Argo ini, kabarnya banyak penulis
naskah yang terkecoh. Konon, ada 26 naskah film yang dikirimkan ke alamat kantor
produser palsu tersebut, salah satunya dari Steven Spielberg.
Pers menjual berita hoax pembuatan film Argo |
INSPIRASI TESIS
Jauh
sebelum cintaku terhadap Argo bersemi, sudah lama saya ingin membuat
penelitian ilmiah tentang sejarah film di Indonesia. Akan tetapi, ide itu tak
kunjung muncul. Apa yang harus saya tulis dari sejarah film Indonesia ini?
Buku-buku perfilman yang pernah saya baca sudah lebih dahulu merinci dengan
detail kecenderungan perfilman kita, lalu apa yang tersisa untuk saya tulis?
Di
tengah kebimbangan ini, saya pun memutuskan rehat sembari 'bertapa' menonton film. Kebetulan saya
sudah lama mendengar pujian-pujian terhadap Argo,
setelah film ini keluar sebagai pemenang film terbaik penghargaan Oscar pada
tahun 2013. Meski demikian, ada saja alasan klasik saya untuk menghindari film
yang bertutur tentang aksi agen rahasia ini: takut relalu pro-Amerika-lah,
takut terlalu banyak adegan menembak sembari kebut-kebutan-lah, dll, dst.
Lagi-lagi
tuduhan-tuduhan mambu saya tersebut tidak terbukti. Setelah menonton Argo, saya baru sadar kenapa film ini
begitu baik. Meskipun berlatar Iran masa Revolusi Islam, Argo tidak
mendeskritkan Republik Islam Iran sebagai musuh bebuyutan Amerika. Sebaliknya,
Argo berhasil meyakinkan penonton bahwa kekacauan diplomatik yang
terjadi di Iran sebenarnya adalah ulah Amerika sendiri. Ditambah lagi, ketegangan dalam Argo tidak dibangun dari adegan aksi dan kejar-kejaran, melainkan lebih kepada situasi intens saat penyamaran para diplomat hampir saja terkuak.
Identitas palsu yang hampir terbongkar |
Sebenarnya, Argo tidak serta merta menanamkan ide
judul penulisan tesis begitu saya mulai menontonnya. Ketertarikan saya terhadap
Revolusi Islam dan campur tangan pemerintah dalam perfilman memang ramuan yang saya cari-cari dari film ini,
namun sayangnya Argo tidak bertutur
tentang hubungan keduanya. Sepanjang alur cerita Argo, kita hanya akan banyak melihat ketegangan di tingkat
pemerintahan Amerika Serikat saat menghadapi konflik dan penyanderaan di dalam
negara Iran. Satu-satunya dialog dalam Argo
yang menyambung antara revolusi agama dengan perfilman ialah saat Tony Mendez
menyamar menjadi seorang produser film untuk meminta izin syuting di beberapa landmark terkenal di Kota Tehran.
"Anda datang di saat yang sulit. Sebelum revolusi, 40% bioskop di Tehran menayangkan film pornografi. [...] Fungsi kantor ini adalah pemurnian, sekaligus mempromosikan kesenian. Saya akan mempelajari naskah (film Anda) ini atas nama Kementerian."
Sejarah film seks di Indonesia |
Layaknya Iran sebelum Revolusi Islam, Indonesia pun pernah menjadi pemuja produk film seks Hollywood. Apabila kita menonton film-film Indonesia periode tahun 1970an sampai awal 1990an, tak sulit menemukan adegan ranjang-ranjangan. Di samping menjadi produk yang propuler, ada kalanya film menjadi media pemerintah melambungkan isu tertentu, salah satunya isu seks dan perkawinan. Sebaliknya, peralihan iklim politik berpotensi besar mengubah arah perfilman tersebut, seperti halnya yang sedikit disinggung dalam Argo. Berkat menonton Argo, saya pun mantap untuk menulis tesis tentang sejarah politik film seks di Indonesia. (Ind)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar