Senin, 26 November 2018

Pertemuan Loli dan Tema Motherhood yang Sempurna dalam Anime Sayonara no Asa ni Yakusoku no Hana o Kazarō (SayoAsa)

poster anime maquia
Official Poster SayoAsa
Sekilas judul artikel ini memang sedikit sumbang di telinga. Tetapi, bagi yang akhir-akhir ini masih sering mengikuti anime Jepang mungkin bisa menebak arah pembahasan artikel ini. Saya pribadi sudah jarang menonton anime, tapi yang saya amati wujud karakter dalam anime baru-baru ini semakin kerdil dan imut-imut. Julukan loli (dari lolita) bagi karakter perempuan imut berusia balita hingga remaja pun semakin banyak dikenal luas di kalangan penggemar anime.

Berkat popularitasnya kini, terminologi loli dalam dunia anime tak jarang membuat saya jengah. Karakter loli tak ayal lagi dikotak-kotakan ke dalam kategori yang ‘ajaib’, misalnya saja seperti immortal loli atau legal loli. Karakter loli jenis ini umumnya berbadan kecil, imut, dan terkadang lugu, tetapi memiliki usia asli setingkat perempuan dewasa, bahkan ada yang dikisahkan berusia abadi (immortal)! Deskripsi ini tentunya mengandung kontradiksi, mengingat menurut definisinya, loli ialah perempuan yang belum matang usianya (di bawah 18 tahun).

tipe-tipe loli dalam anime
Tipe-tipe loli dalam anime, Sumber: knowyourmeme.com
Di tengah ‘aksi menolak’ saya terhadap karakter loli belakangan ini, saya cukup tertegun saat menonton anime Sayonara no Asa ni Yakusoku no Hana o Kazarō. Bisa dibilang, anime yang satu ini mendekati sempurna saat mempertemukan konsep immortal loli dengan tema motherhood. Siapa sangka, karakter loli bisa tampil bak seorang ibu sungguhan.

Sayonara no Asa ni Yakusoku no Hana o Kazarō—diterjemahkan menjadi Maquia: When the Promised Flower Blooms untuk pasar film internasional—adalah anime-movie yang berhasil menggebrak dunia animasi Jepang sejak awal tahun 2018. Anime yang disingkat SayoAsa ini ditulis dan diarahkan oleh Mari Okada (Anohana, Gundam Iron-Blooded Orphans). Produksinya sendiri dilakukan oleh studio P.A. Works atas restu langsung dari Kenji Horikawa, presiden direktur P.A. Works. Semua berawal sejak tahun 2012, ketika Horikawa mengutarakan kepada Okada bahwa ia selalu ingin melihat apa yang ia sebut sebagai “100% anime Okada”.

close up wajah loli maquia
Maquia, karakter utama SayoAsa
Bagi veteran dalam dunia anime, nama Mari Okada tentu sudah tidak asing. Dia adalah sedikit dari penulis naskah perempuan yang berhasil dalam industri animasi Jepang. Selayaknya industri film pada umumnya, industri anime Jepang pun tak jarang mengkerdilkan daya kreatif perempuan. Terdapat sebuah pandangan seksis yang menganggap perempuan itu berselera rendah dalam hal imajinasi dan fantasy. Bahkan produser Studio Ghibli, Yoshiaki Nishimura, pernah mengutarakan keraguannya memakai tenaga sutradara perempuan lantaran perempuan dianggap tidak se-idealis laki-laki saat menggarap cerita fantasy. Mari Okada membuktikan bahwa perempuan pun punya gaya fantasy tersendiri melalui debut penyutradaraannya yang pertama dalam anime fantasy SayoAsa.

WOMAN MEET FANTASY

Sebuah wawancara FANDOM dengan penulis-sutradara Mari Okada menyebutkan bahwa SayoAsa berhasil membolak-balik emosi penonton di Negeri Sakura yang sebagian terdiri dari kaum ibu. Mereka mengatakan, sangat sulit bagi orang tua untuk menerima gagasan tentang seorang anak yang mati mendahului orang tua. Hubungan ibu dan anak laki-lakinya yang berbeda dimensi usia ini-lah yang menjadi pematik drama berbalut fantasy ala Game of Thrones dalam SayoAsa.

pemukiman Iorph dalam anime maquia
Pemukiman Iorph yang tersembunyi
kota industri dalam anime maquia
Kota industri di Mezarte
SayoAsa berkisah tentang Maquia, seorang anak perempuan yatim piatu anggota ras manusia kuno Iorph yang memiliki usia hidup panjang. Meskipun usia dan pengalaman hidup mereka bertambah, tetapi Iorph tidak mengalami penuaan fisik dan selalu nampak seperti anak usia remaja. Karena hal inilah, Iorph kerap kali disebut ‘suku perpisahan’. Seorang Iorph harus menyaksikan perpisahan yang berulang-ulang sepanjang hidup mereka, karena seiring perubahan zaman sudah tidak ada lagi makhluk hidup lain yang menyamai masa hidup para Iorph.

Maquia amat takut jika masa hidupnya yang mencapai ratusan tahun kelak harus dilalui sendirian. Padahal hari-hari panjangnya yang damai dipenuhi canda bersama teman-teman terdekat seperti Leilia dan Krim, serta diasuh oleh tetua suku yang amat menyayanginya. Namun, itu semua tak mampu mengobati rasa kesepian Maquia.

Suatu malam, kemalangan pun menghampiri desa para Iorph. Mezarte, sebuah kerajaan medieval-industrialis yang tengah dirundung kemelut politik mengutus panglima kerajaan bernama Izol untuk mencari rahasia hidup panjang para Iorph. Dengan menunggang naga putih raksasa berjulukan Renato, tentara Mezarte membumi hanguskan desa dan menculik gadis yang dianggap paling cantik untuk dikawinkan dengan keturunan kerajaan. Gadis itu ternyata adalah Leilia.

Krim, Maquia, dan Leilia
Akibat pembantaian tersebut, Maquia harus terpisah dari teman-temannya. Leilia diculik, sedangkan Krim tak jelas rimbanya. Malangnya lagi, Maquia harus bertahan terdampar di daratan asing setelah terlilit kain yang menyangkut pada badan Renato yang sekarat dan terbawa terbang jauh. Sendirian di daratan asing tak ayal membuat Maquia gentar. Tanpa disadarinya, ia melangkah ke arah jurang dan mencoba untuk bunuh diri.

Akan tetapi, kesedihannya yang mendalam pun sirna saat itu juga seraya mendengar suara tangis bayi. Pertemuan dengan bayi mungil yang telah ditinggal sang ibu, seketika menghangatkan hati kesepian Maquia. Meski ragu pada awalnya, ia pun bertekad untuk mengasuh dan membesarkan bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Ariel.

Bagi Maquia, perannya sebagai ibu ternyata semakin sulit ketika Ariel sudah menginjak usia puber. Semakin lama, rupa mereka berdua semakin nampak sebaya. Hal ini membuat orang-orang sering menganggap Maquia dan Ariel adalah pasangan kekasih dengan cinta terlarang yang kabur dari rumah. Akibatnya, Ariel pun menjadi sangat malu dan enggan mengakui Maquia sebagai ibunya lagi. Pertengkaran antara keduanya menjadi tak terelakkan. Akhirnya, Ariel memutuskan bergabung menjadi anggota militer dan pergi meninggalkan Maquia, dengan alasan ingin melindungi sang ibu angkat.

adegan anime maquia
Ariel meninggalkan Maquia
Seperginya Ariel, Maquia merasa amat sedih dan menyebut Ariel seorang pembohong. Meski tak mengungkapkannya, Maquia mengetahui bahwa Ariel sengaja pergi hanya agar jauh dari ibunya. Meskipun demikian, ia tidak pernah sekalipun membenci anak angkatnya. Tak ayal, saat Ariel tua sakit-sakitan pun Maquia tetap senantiasa mengunjunginya dan menemani buah hatinya itu hingga tutup usia.

WHAT’S UP WITH IMMORTAL LOLI

Bagi fans berat anime, tampilan kekanakan Maquia sangat memenuhi syarat karakter loli. Lalu apa sih sebenarnya loli itu? Menurut urbandictionary.com, loli sendiri berasal dari kata lolita yang mengacu pada anak perempuan usia remaja yang atraktif secara seksual atau memiliki ketertarikan seksual terhadap pria yang lebih dewasa. Namun, nampaknya anime mengolah makna loli menjadi lebih luas lagi.

Saya sendiri tidak yakin kapan istilah ini muncul dalam tradisi anime di Jepang. Satu hal yang saya yakini, loli dalam anime sebenarnya merupakan wujud objektifikasi karakter perempuan sensual yang ditujukan untuk menjadi bahan tontonan laki-laki Jepang yang cenderung pemalu. Buah imajinasi ini lantas dikawinkan dengan isu di mana masyarakat Jepang merasa enggan menjajaki dunia dewasa dan rindu dengan masa kecilnya. Kerinduan ini umumnya lebih banyak terjadi pada laki-laki. Penolakan terhadap perubahan kondisi sosial dan fisik itulah yang lantas menciptakan imajinasi karakter perempuan yang selalu nampak muda dan riang, meski usianya sudah sangat tua, disebut immortal loli.

adegan anime maquia
Maquia pertama kali bertemu bayi Ariel
Immortal loli sendiri nampaknya memiliki fanbase yang besar. Bahkan, ada sebuah laman wikia yang mendedikasikan diri mendata karakter-karakter perempuan imut berusia puluhan hingga ratusan tahun. Biasanya, karakter-karakter ini disebutkan bukanlah manusia sungguhan, melainkan ras unik yang mengambil wujud manusia, seperti halnya Iorph dalam SayoAsa. Di Jepang sendiri, sebutan loli baba (baba = nenek-nenek) jauh lebih populer ketimbang “loli yang hidup abadi”.

Meskipun menonton loli nampak menyenangkan, penggambarannya terkadang tak lebih dari obsesi terhadap lawan jenis. Konsumen anime sendiri memang kebanyakan ditempati laki-laki, sehingga tidak mengherankan jika karakter perempuan imut lebih sering dieksploitasi. Namun, SayoAsa nampaknya memiliki kecenderungan yang berbeda berkat keterlibatan buah pikir penulis-sutradara perempuan. Mari Okada mengubah imajinasi tentang loli yang lebih kerap hidup dalam fantasy liar para laki-laki menjadi lebih manusiawi, lembut, dan mudah diterima penonton perempuan lewat pembawaan karakter ibu.

adegan anime maquia
Maquia mengucapkan perpisahan kepada Ariel
Drama dan konflik yang timbul berkat konsep kehidupan yang abadi yang mengisi nuansa fantasy dalam SayoAsa pun menjadi lebih masuk akal. Sebab, hubungan ibu dan anak adalah hubungan seumur hidup. Ketika waktu keduanya tak berjalan secara bersamaan tentu akan menimbulkan efek tragis. Unsur dramatis ini tentu saja jauh lebih relatable ketimbang menyimak kisah loli baba dalam beberapa anime yang berhasil hidup sendiri selama puluhan tahun, tetapi masih bertingkah seperti anak-anak, misalnya saja seperti Tatsumaki dalam serial terkenal One Punch Man. Tak mengherankan jika pada akhirnya banyak ibu-ibu muda di Jepang yang merasa tersentuh setelah menonton SayoAsa.

Tak hanya itu, SayoAsa tak lupa menunjukkan bahwa kehidupan yang panjang sepatutnya dirayakan dengan berbagai cara. Bagi Iorph, menenun adalah salah satu cara mengisi waktu hidup yang panjang, sejak lahir hingga tutup usia. Kain tenun Iorph yang disebut kain Hibiol dikatakan berharga sangat tinggi, karena berisi nilai kerajinan seumur hidup seorang Iorph. Melalui keahliannya menenun ini jugalah, Maquia menghidupi dirinya dan Ariel di tahun-tahun pertama kehidupan mereka di sebuah desa kecil.

adegan anime maquia
Salah satu adegan menenun dalam SayoAsa
adegan anime maquia
Menara Hibiol, bangunan yang dipenuhi hiasan kain Hibiol
Saya jadi ingat tradisi menenun perempuan-perempuan suku di beberapa wilayah di Indonesia. Para perempuan ini menenun seumur hidupnya, sedari usia dini hingga usia senja. Beberapa tradisi juga menyebutkan, perempuan-perempuan ini tidak diizinkan menikah jika belum fasih menenun. Selain menjadi keahlian utama eknomi perempuan dalam perdagangan, menenun juga merupakan napas hidup mereka. Secara simbolis, kain hasil tenun tadi menjadi sebuah bukti keseharian hidup seorang perempuan dalam tradisi suku di Indonesia, seperti halnya kain Hibiol milik para Iorph.

BAD MOTHERHOOD VS GOOD MOTHERHOOD

Satu hal yang membuat saya menikmati menonton SayoAsa adalah kemampuannya menjaga perspektif perempuan sentris. Di sini, yang dituturkan ialah tentang perempuan sepenuhnya. Tentang perasaan kesepian seorang Maquia, keputusannya mengadopsi bayi laki-laki untuk mengobati hatinya, serta perjuangannya meyakinkan diri bahwa ia adalah ibu bagi Ariel. Di sisi lain, kita juga disuguhi perjuangan seorang Leilia, perempuan cantik tomboy yang dipaksa menikah dan melahirkan seorang anak dari pangeran Mezarte yang mengincar darah keturunan manusia berusia panjang. Semuanya disuguhnya secara perlahan dan santun tanpa harus berkompromi dengan heroisme kelaki-lakian yang tak jarang justru merusak tema sebaik ini.

adegan anime maquia
Maquia meninggalkan Ariel yang telah dewasa
adegan anime maquia
Leilia pertama kali bertemu putrinya yang telah dewasa
Saya amati, seri anime Jepang sangat jarang menyentuh tema motherhood/parenthood yang layak. Maksudnya bukan lantaran tema ini dalam anime sangat buruk, melainkan tak jarang tema ini dibawakan secara dangkal dan serampangan. Karakter ibu dan anak perempuannya dalam seri anime-anime masa kini lebih sering dijadikan objek pemujaan—kalau tidak mau disebut objek seksual—oleh mata penonton laki-laki.

Salah satu judul seri anime terkenal yang mencoba menyentuh tema parenthood secara terburu-buru ialah Sword Art Online. Kirito dan Asuna dari SAO mungkin adalah pasangan ayah-ibu paling terkenal sejagad anime setelah mengadopsi seorang anak perempuan yang ternyata adalah sebuah artificial intellegence bernama Yui. Entah apa sejatinya faedah dari dibuatnya model keluarga kecil bahagia dari sepasang anak berusia 14 tahun berlatar dunia game online ini. Saya tak kuasa memaknai karakter Yui sebagai pemanis jalannya cerita SAO semata, selain menjadi legitimasi peran ‘suami virtual’ Kirito kepada Asuna.

Ilustrasi objektivikasi keibuan dan putrinya dalam budaya anime, Sumber: 9gag.com
Kirito, Yui, dan Asuna dari anime SAO, Sumber: Youtube
Berbeda halnya dengan anime-anime seri yang populer kini, kita tidak akan menemukan eksploitasi grafis yang menunjukan objektifikasi visual perempuan imut dalam SayoAsa. Mari Okada nampak sepenuh hati mendedikasikan filmnya untuk memenuhi narasi perempuan imut nan lembut yang kuat lewat sosok ibu, serta manis-getirnya hubungannya dengan sang anak. Saya rasa, sangat jarang pembuat anime laki-laki yang mampu menggali atau setidaknya mau bersikap terbuka terhadap hal-hal seperti ini. Sedikit dari sutradara anime yang berkenan memperhatikan narasi keibuan yang sesungguhnya mungkin hanya Mamoru Hosoda lewat filmnya yang berjudul Wolf’s Children.

Dalam SayoAsa, selain sosok ibu dalam diri Maquia dan Leilia, penonton juga akan berjumpa sosok supermom bernama Mido. Dikisahkan, Mido membesarkan dua putra seorang diri setelah suaminya terbunuh akibat ulah Renato yang mengamuk. Melalui Mido pula, Maquia belajar bahwa seorang ibu harus pandai menjaga emosinya. Hal ini terucap dalam janji Maquia kepada Ariel kecil, “seberat apapun beban seorang ibu, mereka tidak boleh menangis di depan sang anak”.

adegan anime maquia
Mido mengajari arti keibuan kepada Maquia
adegan anime maquia
Maquia meniru gaya Mido di depan Ariel
Sayangnya, tema motherhood ini memang tidak digali dalam-dalam. Nampaknya Mari Okada lebih menyukai memperdalam sisi emosional lewat dialog-dialog antar karakternya yang bikin penonton mewek. Di beberapa scene, dialog semacam ini tergelar cukup panjang dengan beberapa perkataan simbolis, misalnya seperti ketika Maquia menyamakan Ariel sebagai “orang yang menenun kain Hibiol dalam dirinya”.

Akibat dialog-dialognya yang panjang di satu babak, sesi lainnya menjadi nampak terbengkalai. Garis waktu dalam SayoAsa pun menjadi maju dengan sangat cepat tanpa penjelasan dan terkesan terburu-buru. Meskipun cukup tersirat, seiring cerita menyentuh klimaks kekurangan barusan ditebus dengan cukup memuaskan. Cerita ditutup dengan cukup baik dan tentu saja mengharukan. (Ind)

Rabu, 07 November 2018

ARGO, Film yang Menginspirasi Saya untuk Buru-Buru Sidang Tesis

poster film asli argo
Poster film asli tapi palsu Argo (1980)
Saya sedikit kaget saat menyadari bahwa saya lebih sering menulis tentang film-film random ketimbang film favorit saya seperti Argo. Padahal, Argo adalah salah satu film penting dalam petualangan akademik saya. Berkat menonton film besutan Ben Affleck ini, saya jadi terinspirasi untuk buru-buru menggarap tesis saat kuliah dahulu. Tak hanya itu, saya juga kebelet untuk segera melewati sidang tesis, kemudian menikmati kepuasan yang paripurna saat hasilnya diprint menjadi karya ilmiah dan dijejalkan di antara rak buku di perpustakaan kampus. Tak disangka-sangka, selain menjadi ganjel rak bagian referensi di kampus, tesis ini sekarang juga sudah dibukukan.

Meski perannya yang begitu penting, tak sekalipun Argo saya beri kredit malampaui gelarnya sebagai film favorit. Bukan lantaran tidak mau menobatkan Argo menjadi ‘film paling inspiratif’ dalam hidup saya, tetapi karena dahulu saya seringkali lupa bahwa hal-hal yang kita anggap kecil seringkali yang berperan paling besar. Kini, saya yakin film yang diangkat dari memoir seorang pensiunan agen CIA berjudul The Master of Disguise ini berkontribusi membantu saya berpikir jenih di saat-saat akhir kuliah.

THE MASTER OF DISGUISE

Argo dibuka oleh demonstrasi besar rakyat dan militan Iran di depan kedutaan besar Amerika di Tehran pada tahun 1979. Menyambung aksi kudeta terhadap Kerajaan Iran, mereka menuntut agar Amerika Serikat mencabut suaka terhadap Reza Pahlevi. Dengan begitu, sang mantan Raja yang kabarnya tengah menjalani pengobatan kanker di Amerika itu bisa dipulangkan untuk diadili. Malangnya, demonstrasi di hari itu justru menjadi awal petaka bagi para diplomat Amerika.

Rakyat Iran mengepung Kedutaan Amerika di Tehran
Massa yang marah lantas menjebol pagar dan menyapu halaman kantor kedutaan Amerika. Tak butuh waktu lama sampai penjagaan di dalam kedutaan akhirnya tumbang. Militan Iran pun menyandera 52 orang diplomat Amerika yang bekerja di sana. Suasana kedutaan besar Amerika di Iran tak ayal menjadi sorotan media global dan menjadi aksi penyanderaan paling terkenal di dunia hingga kini. Akibat proses diplomasi yang alot, krisis penyanderaan di Iran ini berlangsung selama lebih dari satu tahun, dari 4 November 1979 sampai 20 Januari 1981.

Tak dinyana, beberapa saat sebelum rakyat Iran menyerbu kedutaan Amerika, enam orang pegawai kedutaan berhasil kabur dari pintu belakang. Mereka diberi perlindungan oleh Duta Besar Canada untuk Iran, Ken Taylor (Victor Garber), dan diberi julukan “houseguest” oleh pemerintah Canada. Namun, justru nyawa mereka yang paling terancam jika dibandingkan para diplomat yang disandera di kedutaan. Pasalnya, jika hal ini sampai diketahui militan Iran, keenamnya bisa dituduh sebagai mata-mata Amerika dan dibunuh di tempat. Pemerintah Amerika pun akan sangat malu dibuatnya.

Para "guesthouse" yang terjebak di Kota Tehran
Kabar kaburnya enam diplomat Amerika di Iran dengan sangat cepat tersiar di kalangan intelejen Amerika. Dibantu pemerintah Canada, Departemen Negara di Washington dengan segera menyusun rencana penyelamatan dengan memberangkatkan Tony Mendez (Ben Affleck), seorang agen pembebas sandera terbaik di CIA. Dengan mengambil nama palsu sebagai Kevin Harkins, Mendez menyusun siasat dibantu seorang make-up designer pemenang penghargaan Oscar bernama John Chambers (John Goodman) dan Lester Siegel (Alan Arkin), seorang produser film kawakan di Hollywood. Bersama-sama mereka membuat rumah produksi film palsu dan berencana membuat film fiksi ilmiah gadungan berbudget 20 juta dolar berjudul Argo. Semata-mata bertujuan untuk menyamarkan identitas enam diplomat sebagai rombongan kru film dari Canada.

Berhubung budaya perfilman Amerika Utara sudah terlalu dalam menancap di Iran bahkan sebelum masa revolusi, penyamaran produksi film Argo dibuat dengan amat sempurna. Tak hanya menyiapkan screenplay film, Mendez juga secara legal membuka kantor produksi bernama Studio Six. Ia juga menyewa Jack Kirby sebagai pembuat storyboard dan merilis sebuah konferensi pers untuk menjual berita bohong. Saking meyakinkannya rencana produksi film jadi-jadian Argo ini, kabarnya banyak penulis naskah yang terkecoh. Konon, ada 26 naskah film yang dikirimkan ke alamat kantor produser palsu tersebut, salah satunya dari Steven Spielberg.

Pers menjual berita hoax pembuatan film Argo

INSPIRASI TESIS

Jauh sebelum cintaku terhadap Argo bersemi, sudah lama saya ingin membuat penelitian ilmiah tentang sejarah film di Indonesia. Akan tetapi, ide itu tak kunjung muncul. Apa yang harus saya tulis dari sejarah film Indonesia ini? Buku-buku perfilman yang pernah saya baca sudah lebih dahulu merinci dengan detail kecenderungan perfilman kita, lalu apa yang tersisa untuk saya tulis?

Di tengah kebimbangan ini, saya pun memutuskan rehat sembari 'bertapa' menonton film. Kebetulan saya sudah lama mendengar pujian-pujian terhadap Argo, setelah film ini keluar sebagai pemenang film terbaik penghargaan Oscar pada tahun 2013. Meski demikian, ada saja alasan klasik saya untuk menghindari film yang bertutur tentang aksi agen rahasia ini: takut relalu pro-Amerika-lah, takut terlalu banyak adegan menembak sembari kebut-kebutan-lah, dll, dst.

Lagi-lagi tuduhan-tuduhan mambu saya tersebut tidak terbukti. Setelah menonton Argo, saya baru sadar kenapa film ini begitu baik. Meskipun berlatar Iran masa Revolusi Islam, Argo tidak mendeskritkan Republik Islam Iran sebagai musuh bebuyutan Amerika. Sebaliknya, Argo berhasil meyakinkan penonton bahwa kekacauan diplomatik yang terjadi di Iran sebenarnya adalah ulah Amerika sendiri. Ditambah lagi, ketegangan dalam Argo tidak dibangun dari adegan aksi dan kejar-kejaran, melainkan lebih kepada situasi intens saat penyamaran para diplomat hampir saja terkuak.

Identitas palsu yang hampir terbongkar
Sebenarnya, Argo tidak serta merta menanamkan ide judul penulisan tesis begitu saya mulai menontonnya. Ketertarikan saya terhadap Revolusi Islam dan campur tangan pemerintah dalam perfilman memang ramuan yang saya cari-cari dari film ini, namun sayangnya Argo tidak bertutur tentang hubungan keduanya. Sepanjang alur cerita Argo, kita hanya akan banyak melihat ketegangan di tingkat pemerintahan Amerika Serikat saat menghadapi konflik dan penyanderaan di dalam negara Iran. Satu-satunya dialog dalam Argo yang menyambung antara revolusi agama dengan perfilman ialah saat Tony Mendez menyamar menjadi seorang produser film untuk meminta izin syuting di beberapa landmark terkenal di Kota Tehran.

"Anda datang di saat yang sulit. Sebelum revolusi, 40% bioskop di Tehran menayangkan film pornografi. [...] Fungsi kantor ini adalah pemurnian, sekaligus mempromosikan kesenian. Saya akan mempelajari naskah (film Anda) ini atas nama Kementerian."

sejarah film seks di Indonesia
Sejarah film seks di Indonesia
Sepenggal dialog yang diucapkan oleh seorang pejabat Departemen Kebudayaan dan Bimbingan Islam kepada Mendez tersebut membuat saya sadar bahwa ternyata Iran pun pernah diserbu film-film seks dari negara-negara Barat. Kecenderungan film seks ternyata adalah penyakit akut dunia perfilman di negara manapun yang pernah diserbu kapitalisme Amerika sampai tahun 1980an. Lalu, saya pun jadi mengawang-awang, mungkinkah film-film Warkop DKI yang mengeksploitasi wilayah paha dan dada para gadis Warkop bukan sebuah kesengajaan para produser film semata.

Layaknya Iran sebelum Revolusi Islam, Indonesia pun pernah menjadi pemuja produk film seks Hollywood. Apabila kita menonton film-film Indonesia periode tahun 1970an sampai awal 1990an, tak sulit menemukan adegan ranjang-ranjangan. Di samping menjadi produk yang propuler, ada kalanya film menjadi media pemerintah melambungkan isu tertentu, salah satunya isu seks dan perkawinan. Sebaliknya, peralihan iklim politik berpotensi besar mengubah arah perfilman tersebut, seperti halnya yang sedikit disinggung dalam Argo. Berkat menonton Argo, saya pun mantap untuk menulis tesis tentang sejarah politik film seks di Indonesia. (Ind)